Jumat, 30 Maret 2012

G-20 Mendukung Solusi Eropa Tentang Penanganan Krisis

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, negara-negara di Eropa sedang bergelut dengan krisis. Sebagian besar diantaranya menghadapi krisis utang yang cukup memprihatinkan. Hal yang cukup aneh menurut kami adalah beberapa negara mencoba menyelesaikan utangnya dengan utang yang baru lagi. Tentunya hal ini akan membuat utang baru semakin menumpuk.

Negara – negara yang tergabung dalam G-20 menyambut baik dan memberikan dukungan terhadap strategi Eropa dalam menyelesaikan masalah krisis. Pihak G-20 pun memberikan atau meminta salinan rencana pasti apa yang akan dilakukan oleh negara-negara Eropa.

Kemarin, pimpinan Eropa mengemukakan strateginya dalam pertemuan menteri keuangan dan pimpinan bank sentral dari G-20 di Paris. Mengingat situasi ekonomi dunia yang saat ini tengah melambat, mereka sepakat untuk segera menyelesaikan strategi yang disusun pada pertemuan 23 Oktober mendatang di Brussels. Mereka juga berencana untuk memaksimalkan dana bailout untuk memuluskan rencana ini dengan dana 440 miliar euro (611 miliar dollar AS).

G-20 berjanji akan menyokong kapitalisasi perbankan dan membuat pasar finansial stabil. Selain itu, pemimpin dunia juga mempertimbangkan untuk menyokong aksi Eropa tersebut dengan tambahan dana dari Dana Moneter Internasional IMF.

“IMF memiliki sumber finansial yang cukup besar. Kami akan mendukung penggunaan dana yang ada tersebut secara komprehensif dikombinasikan dengan strategi dan sumber daya yang ada di Eropa,” jelas Timothy F Geithner, Menteri Keuangan AS di Paris.

Para pimpinan G-20 akan kembali menggelar pertemuan di Cannes, Prancis. Menurut G-20, perekonomian dunia saat ini tengah mengalami ketegangan dan risiko perlambatan pertumbuhan yang harus segera diatasi.

sumber :
http://www.sumber-artikel.com/g-20-mendukung-solusi-eropa-tentang-penanganan-krisis.html

Masalah ekonomi dominasi perceraian di PA

MEDAN - Sepanjang tahun 2011, kasus perceraian akibat persoalan ekonomi dan  perselingkuhan menjadi kasus yang paling tinggi ditangani Pengadilan Agama (PA) Kelas I A Medan.  Dari 1.861 yang diterima PA, ada 1.720 gugatan, 141 permohonan, sedangkan 160 lebih perkara  adalah sisa dari tahun 2010.

“Tahun 2011 ini terjadi kenaikan perkara secara keseluruhan sebanyak 8 s/d 10 persen, 80  persennya sudah putus sedangkan sisanya 20 persen lagi karena perkara tersebut terdaftar di  bulan Desember, sehingga memerlukan waktu untuk penyelesaiannya. Sedangkan untuk kasus  perceraian di tahun 2011 ini mencapai 60 persen dengan masalah ekonomi dan 15 persen  perselingkuhan,” kata Panitera/Sekretaris PA H Hilman Lubis.

Hilman menyebutkan, terjadinya peningkatan perkara tahun 2011 ini, bisa saja karena masyarakat  semakin sadar bahwa keputusan pengadilan sangat penting dalam rangka memberikan perlindungan  hukum bagi diri mereka. Utamanya untuk perempuan yang sangat memerlukan bukti dari pengadilan  sekaligus terhadap anakanak mereka terkait dengan hak asuh maupun hakhak yang harus mereka  terima dari orangtuanya yang bercerai.

Meski begitu, pastinya masih ada yang tidak menyelesaikan masalahnya di PA dengan berbagai  dalih. “Pasti ada yang menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan saja, umumnya mereka  yang kurang paham terhadap sistem pengadilan dan merasa takut beban biaya yang dikenakan kepada  mereka,” ujarnya.

Padahal, lanjut Hilman, untuk masalah biaya tersebut telah ada kemudahan bagi yang kurang mampu,  bahkan gratis disediakan pemerintah. Atau mereka memang tidak bisa ke pengadilan karena  pernikahan tidak terdaftar, sehingga saat perceraian juga tidak bisa didaftarkan. Ada juga yang  merasa pengadilan ini sesuatu yang baru yang membuat mereka takut untuk datang dan berbagai dalih lainnya.

Menurut dia, masingmasing pasangan yang sudah mengikuti persidangan tidak langsung menerima  putusan. Akan ada mediasi yang diberikan oleh petugas khusus yang saat ini sudah ada di PA. Hal  itu diharapkan untuk memberi peluang kepada pasangan bersatu lagi. “Tapi hasil mediasi oleh  mediator tidak selamanya berhasil. Mungkin kedua belah pihak memang sudah sepakat untuk  mengakhiri bahtera rumah tangganya. Namun, pihak PA tetap memberikan arahan (mediasi) karena hal  ini memang sangat penting,” katanya yang menyebutkan ada 13 orang yang dilibatkan sebagai  mediator pada kasus atau perkara di PA Medan.

Dari data yang ada, untuk tahun 2009 ada 1.547 perkara yang diterima, 1.419 gugatan dan 128  permohonan. Persentase penyelesaian perkara 82,40 persen dan sisanya 14,50 persen. Sedangkan  tahun 2010 ada 1.749 perkara yang diterima, untuk gugatan mencapai 1.640 dan permohonan mencapai  109, persentase penyelesaian perkara 86,94 persen.

sumber :
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=229235:masalah-ekonomi-dominasi-perceraian-di-pa&catid=14:medan&Itemid=27

KASUS KOPERASI DAN CARA PENYELESAIANNYA

1. Kasus koperasi ini merupakan kejadian yang dialami sendiri oleh orangtua saya. Saya bertempat tinggal di daerah BJI Bekasi Timur, di lingkungan tempat tinggal saya terdapat Koperasi Simpan Pinjam di mana orangtua saya termasuk anggota koperasi. Berdasarkan informasi, simpanan wajib yang harus dibayarkan oleh orangtua saya setiap bulannya sebesar Rp. 5000. Dalam koperasi simpan pinjam ini apabila meminjam, bunga yang harus dibayarkan sebesar 1,5 %. Menurut kesepakatan setiap akhir tahun anggota koperasi akan mendapat bingkisan Hari Raya dari SHU masing-masing anggota. Yang menjadi masalah di sini, bukan hanya anggota koperasi saja yang mendapat bingkisan dari SHU masing-masing, namun semua warga lingkungan RT mendapatkannya termasuk yang bukan anggota koperasi. Dengan kata lain SHU anggota dibagi sama rata dengan warga masyarakat RT, tidak berdasarkan besarnya masing-masing SHU anggota. Akibat hal tersebut, orangtua saya akhirnya keluar dari keanggotaan koperasi simpan pinjam RT.

Cara Penyelesaiannya :
Menurut saya pembagian SHU sama rata tersebut sangatlah tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Karena seharusnya anggota koperasi akan mendapatkan SHU berdasarkan pinjaman serta bunga yang dibayarkan. Tidak dibagi sama rata seperti itu, apalagi ada warga RT yang bukan anggota koperasi namun mendapatkan bingkisan yang berasal dari SHU anggota koperasi. SHU seharusnya dibagi sesuai dengan transaksi pinjaman dan jasa modal yang dilakukan oleh masing-masing anggota koperasi. Apabila pihak pengurus koperasi ingin membagikan SHU seharusnya sesuai dengan besarnya SHU masing-masing anggota. Sebaiknya berupa uang tunai sehingga mudah untuk pembagiannya. Jika pengurus koperasi (yaitu pengurus RT juga) ingin membagikan bingkisan hari raya secara merata ke semua warga RT, sebaiknya dana yang digunakan berasal dari kas RT sendiri bukan dari SHU anggota koperasi.

2. Puluhan nasabah Koperasi Serba Usaha (KSU) Binar Sejahtera, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, menjadi korban penipuan ketua koperasi tersebut. Salah satu korban penipuan menjelaskan sudah empat tahun ini, sejumlah surat berharga milik anggota koperasi, seperti Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat sertifikat tanah dilarikan oleh Kepala KSU Bina Sejahtera. Surat-surat berharga tersebut merupakan jaminan atas pinjaman kredit yang dilakukan oleh para nasabah. Padahal para korban telah melunasi uang pinjaman pada koperasi. Sebelumnya arogansi dari manajemen koperasi tersebut juga telah ditunjukkan dengan dilakukannya penyitaan pada benda-benda milik para nasabah, seperti televisi, jika para nasabah terlambat membayar angsuran pelunasan pinjaman tersebut. Seorang korban lainnya mengatakan, akibat sertifikat tanahnya tidak segera dikembalikan oleh ketua koperasi tersebut, dirinya harus menunda kepentingan dirinya, seperti melakukan pinjaman lain. Oleh karena itu, kalangan nasabah korban penipuan tersebut menuntut pengembalian surat-surat berharga milik para nasabah yang sebelumnya menjadi jaminan sesegera mungkin. Jika dalam batas waktu dua minggu tidak ada pengembalian dari pihak KSU Bina Sejahtera, lanjutnya, para nasabah akan melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Resor Sragen.

Cara Penyelesaiannya :
Menurut saya kasus puluhan nasabah Koperasi Serba Usaha (KSU) Binar Sejahtera sudah mencapai tahap yang rumit di mana pengurus koperasi tidak mau mengembalikan barang jaminan pinjaman anggota sedangkan pinjaman anggota semua sudah dikembalikan. Namun sikap yang harus dicontoh dari para anggota koperasi, mereka masih memiliki niat untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan memberi waktu selama 2 minggu kepada pengurus koperasi. Hal ini sesuai dengan salah satu asas koperasi yaitu kekeluargaan. Menurut saya sebaiknya diadakan pertemuan terlebih dahulu antara pengurus dengan para anggota agar dapat menemukan kesepakatan bagaimana masalah ini dapat segera diselesaikan secara adil. Apabila pihak pengurus tetap tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah, maka sebaiknya para anggota melaporkan masalah ini ke pihak yang berwajib karena ada ketidakadilan yang terjadi pada mereka. Harapannya agar pihak berwajib dapat menyelesaikan masalah ini secara hukum agar anggota masyarakat mendapat keadilan. Untuk anggota koperasi agar hal ini tidak terjadi lagi sebaiknya sebelum masuk ke dalam anggota koperasi, harus melihat secara lebih dalam apakah pengurus koperasi dapat dipercaya karena ini berurusan dengan masalah uang.

sumber :
http://lovelycimutz.wordpress.com/2010/10/02/koperasikasus-koperasi-dan-cara-penyelesaiannya/

Penyelesaian Kerugian Negara Capai 85.139 Kasus

Oleh: Sandiyu Nuryono
Ekonomi - Selasa, 4 Oktober 2011 | 14:20 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan penyelesaian kerugian negara sejak akhir 2004 hingga Semester I 2011 sebanyak 85.139 kasus atau senilai Rp17,93 triliun.
Demikian disampaikan Ketua BPK, Hadi Poernomo di Gedung DPR Jakarta, Selasa (4/10). "Penyelesaian berupa angsuran sebanyak 18.297 kasus senilai Rp1,81 triliun," tuturnya.

Selain itu, imbuhnya, pelunasan sebanyak 22.992 kasus senilai Rp4,84 triliun dan penghapusan kerugian negara atau daerah telah dilakukan atas 117 kasus senilai Rp10,2 miliar.

Adapun dari 11.430 kasus senilai Rp26,68 triliun dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) I 2011, sebanyak 7.967 kasus senilai Rp18,96 triliun diakibatkan karena ketidakhematan, ketidak efisienan dan ketidakefektifan entitas BPK, yaitu Kementrian dan Lembaga dalam mengelola keuangannya.

Sedangkan, sebanyak 3.463 kasus senilai Rp7,71 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan.

"Dari temuan ini, selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan penyerahan ke kas negara /daerah/perusahaan senilai Rp136,77 miliar," terang Hadi. BPK juga menemukan berbagai kelemahan administrasi dan Sistem Pengendalian Internal (SPI).

sumber :
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1781496/penyelesaian-kerugian-negara-capai-85139-kasus

DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH?

Saturday, 02 October 2010 19:20

Sumber Majalah Forum Keadilan,

Perkembanagan ekonomi syariah di Indonesia sudah sanggat pesat, perkembangan ekonomi syariah ini menjalar kepada Bank-bank ternama, misalnya yang tadinya Bank-bank ini tidak menggunakan sistem syariah, mulai berduyung-duyung untuk mengunakan sistem tersebut sepertihalnya Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri Syariah, dan banyak lainnya, hal ini berimplikasi hukum apabila terjadi sengketa diantara nasabah dan Bank, yang nantinya dihadapkan dengan pertanyaan persoalan sengkeya ekonomi syariah ini dibawah kemekanisme hukum yang mana? MUI pernah mengeluarkan fatwa dibidang ekonomi syaria’ah yang menyatakan “Apabila ada sengketa dibidang ekonomi syariah penyelesaiannya dibawa ke Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Basyarnas.

Berkaitan dengan fatwa MUI itu, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulunya hanya berwenang menangani kasus-kasus hukum keluarga seperti nikah, waris/washiat dan wakaf, setelah direfisi menjadi UU No 3 tahun 2006 Peradilan Agama mempunyai kewenangan meluas ke wilayah ekonomi syariah, Pasal 49 dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasurasi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syari’ah, Pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Oleh karenanya dalam pasal 46 i mengatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama diantara orang Islam di bidang ekonomi syari`ah.


Adanya, fatwa MUI dan lahirnya Arbitrase Syariah atau Basyarnas yang lebih dulu ada dibandingkan dengan UU 3 Tahun 2006 hasil Revisi UU 7 tahun 1989, mengenai masalah penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah, tentunya akan membingungkan dan mempersulit masyarakat untuk membawa sengketanya?


Oleh karennya. Bapak Ahmad Djauhari Sekertaris Basyarnas, menjelsakan; Adanya persepsi mengenai dualisme pengaturan penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah itu perlu diluruskan, pertama; Bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdata, peraturan perundang-undangan membenarkan dengan dua cara, pertama; Melalui peradilan yang disediakan oleh Negara, seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), untuk PA termasuk pengadilan khusus dengan asas personalitas keislaman, maka peradilan agama baru pada tahun 2006 melalui UU Nomer 3 tahun 2006 mendapatkan tambahan wewenang menyelsaiakan sengketa ekonomi syariah.


Melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 56 ayat (2) memberikan kesempatan bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya dapat mengunakan Arbitrase, dengan catatan para pihaknya harus sepakat secara tertulis untuk menyelesaikan sengketanya dengan sistem arbitrase, sehingga pengadilan menjadi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan.pilihan hukum, bisa mengunakan hukum islam, perdata barat, hukum anglo saxon, terserah kepada para pihaknya, disitulah untuk sengketa-sengketa ekonomi syariah wajar, logis dan katakan wajib menyelesaiakannya dengan syaraiah pula.


Sebelum UU 3 tahun 2006, Basyarnas sudah berdiri sejak 21 Oktober 1993, dan dulu arbitrase diatur oleh Rechtvordering pasal 615-651 tentang sistem Arbitrase, sistem ini memang dari awal sudah memberikan pilihan hukum, yang dirumuskan didalam pasal 56 ayat (2). Jadi adanya Pengadilan Agama yang mendapatkan tambahan wewenang memeriksa sengketa ekonomi syariah bukan berarti saingan buat Basyarnas, “itu hanya sebagai teman berfikir, bahkan sebagai Fastabiqul Khoirot,” ungkap sekertaris Basyarnas.


Dalam rangka menegakkan syaraiat Allah, kenapa dulu orang tidak meributkan mengenai Badan Arbitrase Nasional Iindonesia (BANI), dengan adanya Pengadilan Agama yang mempuyai kewenangan, memeriksa dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kemudian itu dijadikan saingan bagi Basyarnas, ini tidak adil kalau ada fikiran semacam itu. Makanya Bagi para pelaku bisnis, perlu mengetahui perbedaan yang sanggat signifikan dalam menyelesaiakan sengketa lewat Arbitrase, misalanya proses persidangan di Basyarnas yang sederhana, tertutup untuk umum, rahasia-rahasia dagang tidak diobral keluar, simpel tidak terlalu formalitas seperti di PN maupun PA, kemudian di Basyarnas selalu mengutamakan penyelesaian dengan prisnsip islah (Mendamaikan) itu prinsip yang diutamakan,


Mengenai putusan Basyarnas, itu bersifat final dan mengikat, sementara putusan PN ataupun PA tidak, karena masih ada upaya hukum seperti; Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian sengketa melalui Arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus, dan dari segi ekonomi bisa dihitung sendiri. Untuk hal apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat dimohonkan ke Penadilan sesuai dengan surat ederan Mahkamh Agung Nomor 8 tahun 2008 menetapkan “putusan Arbitrase Syariah pelaksanaan eksekusinya melalui Peradilan Agama.”


Bapak Ahmad Djauhari menjelsakan, kenapa DSN (Dewan Syariah Nasioanal) membuat fatwa dibidang ekonomi sayariah? Wajar karena MUI tentu inggin mengarahkan penyelesaian sengketa orang islam juga secara syar’i, tidak boleh MUI menjerumuskan para pelaku ekonomi ketempat lain, ”Kalau anda ada sengketa, silakan anda ke Basyarnas saja,” karena itu lebih efesien dari segi waktu dan sebagainya. Dan tidak hanya saja penyelesain sengkta melalui basyarnas ini dinikmati oleh para orang islan, non muslimpun bisa dengan prisnsip asas kebebasan berkontrak, artinya orang non muslim tadi dengan sukarela menundukan dirinya kepada hukum atau syariat islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri terhadap hukum.


Rahayu Hartini, S.H, M.SI., M.Hum Dosen FH UMM, yang sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga. Mempunyai pandangan tersendiri, saya melihatnya ada pertentangan mengenai fatwa MUI tersebut, karena dalam Pasal 49 huruf i UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Seyogyanya MUI dalam mengeluarkan Fatwanya, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah, setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan merujuk kepada UU tersebut. Bukan malah mengeluarkan fatwa setelah tiga hari UU tersebut disahkan, MUI mengeluarkan ada empat fatwa yang isinya bila ada sengketa ekonomi syariah dibawa ke Basyarnas. Karena untuk membawa sengketa syariah ke Basyarnas syaratnya harus ada “aqad” yang memperjanjikan untuk itu, hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang APS dan Arbitrase.


Adanya dualisme kewenangan, antara Peradilan Agama sebagaimana ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah, demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan diselesaikan ke Basyarnas. sehingga ke tiga UU tersebut yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa, tidak sinkron, sehingga harmonisasi perlu segera dilakukan agar tidak terjadi dualisme kewenangan lagi.


Logika hukumnya, apabila ada sengketa, harus dilihat apakah ada ”aqad yang isinya memperjanjikan, bila ada sengketa di selesaikan melalui Basyarnas atau tidak?” Bila dalam aqadnya menunjuk Basyarnas, maka para pihak harus mematuhi ”aqad yang telah dibuat dan disepakati.” Tetapi apabila ”tidak ada aqad yang demikian” maka para pihak bisa membawanya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Prinsipnya demikian,


Terhadap UU No. 21 Tahun 2008 ini juga masih perlu dikaji lagi, khususnya Pasal 55 Ayat (2). Dalam penjelasannya justru tidak membuat Ayat (2) tersebut menjadi jelas tetapi malah rancu, ambigu, terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa khususnya perbankan syariah antara Pengadilan Agama (Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006 dengan Peradilan Umum / Pengadilan Negeri (penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf (d) UU No. 21 Tahun 2008.


Jadi memang pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui Basyarnas, harus didahului adanya suatu perjanjian terlebih dahulu yang disebut dengan ”klausul arbitrase”. Perjanjian tersebut bisa dibuat sejak awal mereka mengadakan hubungan hukum (acta compromi) atau baru disepakati ketika terjadi sengketa diantara para pihak (pactum de compromittendo).


Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di PA adalah secara legal formal-litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses beracaranya maupun putusannya, karena mempunyai kekuatan hukum yang sama, sebab keduanyapun menggunakan irah-irah putusan ”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”


Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara lain; lebih Efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya murah, Final and Binding, lebih privat, terjaga rahasianya, sehingga credibilitas masyarakat tetap terjaga, dalam dunia bisnis ”kepercayaan (trust),” ini merupakan salah satu ”goodwill” atau aset yang cukup diperhitungkan. Kembali Ibu Rahyu menjelasakan “dalam kondisi seperti sekarang ini, saya lebih setuju menggunakan lembaga arbitrase,” selain sifat yang dimiliki seperti diatas, juga untuk mengurangi penumpukan perkara yang demikian besar di MA, serta ”kurang percayanya,” para pelaku bisnis (terlebih Internasional) pada lembaga peradilan kita, maka ini, sebenarnya merupakan peluang besar untuk ”menumbuh suburkan dan memberikan kepercayaan kepada lembaga arbitrase.


Hal ini tentunya juga perlu adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan dukungan dari berbagai pihak; termasuk pemerintah. Siapapun harus menghormati dan mau melaksanakan dengan sukarela apa yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak itu sendiri, karena adanya ”kesepakatan/perjanjian”. Dalam agama apapun ”Janji’ adalah utang yang harus dibayar/harus ditepati. Ini juga merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal, ”pacta sunt servanda”.


dimuat dalam majalah Forum Keadilan
sumber :
http://azharuddinlathif.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:dualisme-penyelesaian-sengketa-ekonomi-syariah&catid=1:artikel&Itemid=59

BI: perbankan syariah hadapi tiga tantangan

Rabu, 21 Maret 2012 15:26 WIB | 1350 Views

Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan, sektor perbankan syariah menghadapi tiga tantangan yang harus dibenahi agar industri ini makin tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun mendatang.

"Ke tiga tantangan tersebut adalah pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan inovasi produk dan layanan kompetitif serta berbasis kekhususan untuk kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan program sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat," ujarnya dalam memberikan sambutan pembukaan musyawarah nasional asosiasi bank syariah Indonesia, di Jakarta, Rabu.

Halim menjelaskan ada beberapa pelaku perbankan yang telah memiliki program untuk meningkatkan kebutuhan dan kualitas sumber daya manusia dalam industri keuangan syariah, namun hasilnya belum secepat dan sebaik yang diharapkan.

Terbatasnya sumber daya insani tersebut, lanjut dia, bahkan menyebabkan para pelaku perbankan saling membajak pekerja yang memiliki keahlian dalam bidang keuangan syariah.

"Betapapun canggih dan lengkap peralatan, tetap unsur perbankan sangat penting dikuasai sumber daya insani yang mumpuni. Oleh karena itu asosiasi perlu memikirkan untuk menjawab tantangan ini secara lebih sistematis dan terukur serta terarah," kata Halim.

Tantangan ke dua, menurut Halim adalah pemenuhan inovasi produk dan layanan kompetitif yang lebih optimal karena saat ini produk perbankan syariah yang ditawarkan masih sangat terbatas.

Pengembangan inovasi tersebut juga harus didorong karena sektor perbankan belum memiliki kreativitas dalam mengembangkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat.

"Kita tahu siklus kehidupan suatu produk yang ditawarkan oleh industri keuangan itu pendek dan dengan mudah bank atau lembaga keuangan lain akan meniru dari apa yang sudah ada dan berhasil di bank yang lain," ujar Halim.

Untuk itu, ia mengatakan peran regulator dan asosiasi sangat penting untuk memberikan kepastian agar pelaku perbankan dapat berinovasi tanpa rasa khawatir bahwa kreativitas tersebut akan ditiru.

"Ini menjadi tantangan bagi industri dan pelaku industri, agar tetap bisa berinovasi tanpa khawatir temuan maupun kreativitas tersebut akan ditiru dan digunakan tanpa susah payah. Di sini peran regulator akan lebih menonjol dan asosiasi penting untuk menjembatani permasalahan ini," katanya.

Terakhir, menurut Halim, industri ini masih memiliki kendala sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sehingga belum banyak yang mengetahui produk perbankan syariah.

"Ini perlu menjadi perhatian, karena selama ini peran Bank Indonesia sebagai regulator untuk melakukan sosialisasi dan edukasi sangat besar," ujarnya.

Halim mengharapkan para pelaku perbankan syariah di masa mendatang dapat lebih mandiri dan kreatif dalam melakukan fungsi sosialisasi dan edukasi sehingga tidak lagi bergantung kepada Bank Indonesia.

"Banyak ide-ide yang dilakukan Bank Indonesia, diikuti industri perbankan syariah, tetapi mungkin (dipertimbangkan) bagaimana peran tersebut secara perlahan-lahan digantikan industri dan Bank Indonesia harus menarik mundur perlahan-lahan," katanya.

(S034/S004)

Editor: Ella Syafputri
Sumber :
http://www.antaranews.com/berita/302481/bi-perbankan-syariah-hadapi-tiga-tantangan

Kasus Century Berdampak Pada Pertumbuhan Ekonomi 2010

Senin, 21 Desember 2009 17:21 WIB

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat perbankan dari Universitas Gajahmada Yogyakarta A. Tony Prasetyantono mengatakan penyelesaian kasus Bank Century yang sedang ditangani panitia angket di DPR di berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010.

"Jika kasus Bank Century berakhir `happy ending` dan politik dalam negeri tetap stabil maka target pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar lima persen bisa terealisasi," kata Tony Prasetyantono pada workshop "Kontroversi Bank Century" di Jakarta, Senin.

Dijelaskannya, jika politik dalam negeri tetap stabil maka kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia tetap tinggi, sehingga aliran "capital inflow" ke Indonesia tetap tinggi.

"Capital inflow" ini kata dia berdampak positif yakni meningkatkan cadangan devisa dan menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

"Kondisi ini akan menggairahkan pasar Indonesia sehingga target pertumbuhan ekonomi Indonesia lima persen bisa tercapai," kata Tim Ekonomi Bank BNI ini.

Dikatakannya, sebaliknya jika kasus Bank Century berakhir tidak "happy ending" akan berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi di tanah air, sehingga target pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak akan terealisasi.

Tony mencontohkan, kasus Bank Century yang berakhir tidak "happy ending" jika mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dipaksa nonaktif atau mundur dari jabatannnya.

Mundurnya dua pejabat negara tersebut, kata dia, akan berdampak negatif yakni pasar akan merespon negatif, karena kondisi yang terjadi diluar "ekspektasi" pasar.

"Dampaknya terjadi `capital outflow`, nilai tukar rupiah melemah, indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot, dan cadangan devisa juga menurun," katanya.

Menurut dia, kasus Bank Century yang sedang menjadi persoalan nasional saat ini juga menunda masuknya investasi asing ke Indonesia.

Tony membandingkan kasus Bank Century ini dengan situasi politik di Thailand dimana sebagian masyarkat menginginkan mantan Perdana Menteri negara tersebut Thaksin Shinawatra mundur dari jabatannya dan sebagian masyarakat lainnya berusaha mempertahankannya.

"Konflik politik itu itu menyebabkan investor asing menunda rencananya investasinya di Thailand," katanya.

Tony mengingatkan Panitia Angket Kasus Bank Century untuk melakukan langkah tepat dalam membuat keputusan kasus Bank Century dengan pertimbangan komprehensif.(*)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2009